3.24.2008

Sejarah Nusantara pada Era Kerajaan Hindu-Buddha

Sejarah Nusantara pada Era
Kerajaan Hindu-Buddha

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, China dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien.
Dua kerajaan besar pada zaman ini adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya Islam pada sekitar abad ke-12 secara perlahan-lahan menandai akhir dari era ini.
Alur waktu

300 - Indonesia telah melakukan hubungan dagang dengan India Hubungan dagang ini mulai intensif abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.

300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.

400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam.

671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Melayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.

685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.

692 - Salah satu kerajaan Hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi besar dan pusat perdagangan yang dikunjungi pedagang Arab, Parsi, Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Sebagian dari Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara, Sunda, Jambi termasuk kekuasaaan Sriwijaya. Pada masa ini perkembangan kerajaan Sriwijaya berkaitan dengan masa ekspansi Islam di Indonesia dalam periode permulaan. Sriwijaya dikenal juga sebagai kerajaan maritim.

922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.

1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Aceh dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.

1345-1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.

1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka sesuai dengan "sumpah Palapa" Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.


Kerajaan Hindu/Buddha
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kediri
Kerajaan Singhasari
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Mataram (Hindu)
Kerajaan Melayu Tua - Jambi
Kerajaan Sunda
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Tarumanagara


Kerajaan Kutai Martadipura
Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.

Yupa
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / Tugu dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada brahmana.

Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Jerman bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Budha

Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.


Huruf Palawa – Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya. Bahkan, di tahun 1365, sastra Jawa Negarakartagama hanya menyebutkannya secara sepintas lalu.

Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Kutai Kartanegara adalah kesultanan Islam.

Nama-Nama Raja Kutai
1. Maharaja Kudungga
2. Maharaja Asmawarman
3. Maharaja Irwansyah
4. Maharaja Sri Aswawarman
5. Maharaja Marawijaya Warman
6. Maharaja Gajayana Warman
7. Maharaja Tungga Warman
8. Maharaja Jayanaga Warman
9. Maharaja Nalasinga Warman
10. Maharaja Nala Parana Tungga
11. Maharaja Gadingga Warman Dewa
12. Maharaja Indra Warman Dewa
13. Maharaja Sangga Warman Dewa
14. Maharaja Singsingamangaraja XXI
15. Maharaja Candrawarman
16. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
17. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
18. Maharaja Riski Subhana
19. Maharaja Sri Langka Dewa
20. Maharaja Guna Parana Dewa
21. Maharaja Wijaya Warman
22. Maharaja Indra Mulya
23. Maharaja Sri Aji Dewa
24. Maharaja Mulia Putera
25. Maharaja Nala Pandita
26. Maharaja Indra Paruta Dewa
27. Maharaja Dharma Setia


Kerajaan Kalingga

Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, PARWATI, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama MANDIMINYAK, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambata, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Kerajaan Kadiri/ Kediri

Kerajaan Kadiri atau Kediri adalah kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur, berdiri sekitar tahun 1045-1221 M. Nama-nama lainnya yang juga dikenal untuk menyebut kerajaan ini adalah Kerajaan Panjalu atau Kerajaan Dhaha.

Latar belakang
Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 (satu lainnya adalah Janggala), yang dipecah oleh Airlangga untuk dua puteranya. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk menghindari perselisihan dua puteranya, dan ia sendiri turun tahta menjadi pertapa. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Perkembangan
Tak banyak yang diketahui mengenai peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Demikian pula Mpu Tanakung mengarang kitab Kakawin Lubdaka dan Wertasancaya.
Raja terkenal Kediri adalah Jayabaya (1135-1159). Jayabaya di kemudian hari dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa depan. Pada masa kekuasaannya, Kediri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kediri. Waktu itu Kediri memiliki armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena telah memerintahan penggubahan Kakawin Bharatayuddha, yang diawali oleh Mpu Sedah dan kemudian diselesaikan oleh Mpu Panuluh.
Raja Kertajaya yang memerintah (1185-1222), dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat untuk menyembahnya. Ini menyebabkan ia ditentang oleh para brahmana. Kertajaya adalah raja terakhir dari kerajaan Kadiri.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membuka lebih banyak tabir misteri.

Runtuhnya Kadiri

Di Tumapel, wilayah bawahan Kadiri di daerah Malang, terjadi gejolak politik. Ken Arok membunuh penguasa Tumapel Tunggul Ametung, dan mendirikan Kerajaan Singhasari tahun 1222. Ken Arok lalu beraliansi dengan para brahmana dan berhasil memberontak terhadap Kadiri. Dengan hancurnya Kadiri dan meninggalnya Kertajaya, Kadiri kemudian menjadi wilayah bawahan Kerajaan Singhasari.

Raja-raja Kadiri
Berikut adalah nama-nama raja yang berkuasa di Kadiri:

• Sri Samarawijaya (1042-?) - adalah putra Airlangga yang menjadi raja pertama Kadiri
• Sri Jayawarsa (1104-1115) - tidak diketahui dengan pasti apakah ia pengganti langsung dari Samarawijaya atau bukan.
• Sri Bameswara (1116-1135)
• Sri Jayabaya (1135-1159) - raja pujangga dan terkenal dengan ramalannya Jangka Jayabaya
• Sri Sarweswara (1159-1161)
• Sri Aryeswara (1171-1174)
• Sri Gandra (1181)
• Kameswara (1182-1185)- terkenal di nusantara dalam cerita Panji
• Kertajaya (1185-1222) - adalah raja terakhir Kadiri

Kerajaan Singhasari


Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari, adalah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.

Nama Asli Singhasari
Berdasarkan prasasti Kudadu, sesungguhnya nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, nama ibu kota Kerajaan Tumapel adalah Kutaraja.
Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai raja muda, dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota justru kemudian lebih terkenal dari pada nama Tumapel.
Dalam berita Cina Kerajaan Tumapel sering disebut Tu-ma-pan.

Berdirinya Kerajaan Tumapel
Dalam naskah Pararaton disebutkan bahwa, Tumapel semula hanyalah sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Akuwu (camat) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Ia kemudian mati dibunuh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok melalui suatu cara yang sangat licik. Ken Arok kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para pendeta itu lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok. Perang akhirnya terjadi antara pasukan Kadiri melawan pasukan Tumapel di desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Ken Arok lalu mengangkat diri sebagai raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Naskah Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian kerajaan Tumapel. Namun tidak dijumpai adanya nama Ken Arok. Dalam kitab karya Mpu Prapanca tersebut, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra.
Prasasti Mula Malurung yang diterbitkan Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Raja-Raja Tumapel atau Singhasari

Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.

Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)
2. Anusapati (1247-1249)
3. Tohjaya (1249-1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250-1254)
5. Kertanagara (1254-1292)

Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222-1227)
2. Anusapati (1227-1248)
3. Wisnuwardhana (1248-1254)
4. Kertanagara (1254-1292)

Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.


Ken Dedes

Sementara itu dalam versi Nagarakretagama tidak diberitakan adanya pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Nagarakretagama adalah kitab pijian untuk Hayam Wuruk raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut dianggap sebagai aib.

Di antara nama para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Prasasti Mula Malurung misalnya, ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja bawahan di Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagara kretagama.
Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di Kadiri. Jadi, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 perlu dibetulkan. Yang benar adalah, Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268 atau 1270, ia bertakhta di Singhasari.

Pemerintahan Wisnuwardhana dan Narasingamurti
Dalam Nagarakretagama dikisahkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti yang naik takhta pada tahun 1248. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila kisah pembunuhan berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi. Wisnuwardhana adalah cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.
Pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti yang digambarkan bagai Wisnu dan Indra itu merupakan suatu upaya untuk menghentikan perseteruan antara keluarga Tunggul Ametung dan Ken Arok yang telah menewaskan raja-raja sebelumnya.

Pemerintahan Kertanagara (1268 - 1292)
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268-1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi kekuasaan Mongol. Pasukan itu mengalami kemenangan menaklukkan raja Kerajaan Melayu pada tahun 1286.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi penaklukan ke Bali, dan sejak itu Bali menjadi wilayah Kerajaan Singhasari. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari untuk meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.

Runtuhnya Kerajaan Tumapel - Singhasari
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan pasukan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos pada bagian dalamnya. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang. Ia adalah sepupu, sekaligus ipar, sekaligus pula besan dari Kertanagara. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang membangun ibu kota baru di Kadiri.
Hubungan Singhasari dan Majapahit
Dikisahkan dalam Pararaton, Nagarakretagama, ataupun prasasti Kudadu, bahwa Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit dan menyatakan dirinya sebagai penerus Dinasti Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Kerajaan Majapahit


Peta Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara

Sumber catatan sejarah
Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuna. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuna yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuna maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Namun demikian, garis besar sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok. Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.
Sejarah Berdirinya Majapahit

Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singhasari yang naik menjadi perhatian Kubilai Khan di China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut.
Pada tahun 1293 itu pula Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di tanah perdikan daerah Tarik, Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama Majapahit. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.

Kejayaan Majapahit
Penguasa Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto).
Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China.

Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara.
Catatan sejarah dari China, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

Kebudayaan
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto.

Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.

Gobog, uang kerajaan majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat Birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
• Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
• Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
• Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
• Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

Daha
Jagaraga
Kabalan Kahuripan
Keling
Kelinggapura Kembang Jenar
Matahun
Pajang Singhapura
Tanjungpura
Tumapel Wengker
Wirabumi


Raja-raja Majapahit

Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan

Majapahit menjadi dua kelompok.
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

Warisan sejarah
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa Indonesia pada abad-abad berikutnya. Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan. Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.


Candi Tikus menunjukkan kuatnya pengaruh Hindu pada masa kerajaan Majapahit.

Majapahit dalam kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.

Puisi lama
•Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Budha" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik
•Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
•Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
•Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
•Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.

Roman/novel sejarah
•Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
•Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
•Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
•Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Achsan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristia Bubat.
•Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
Film/Sinetron
•Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.
•Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang populer pada awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.
•Walisongo, sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit di masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana.

Kerajaan Pajajaran

Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
• Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
• Galuh Pakuan beribukota di Kawali
• Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
• Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
• Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
• Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
• Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
• Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
• Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
• Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan

Kerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang diperkirakan beribukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan, atau berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.


Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, peninggalan Raja Punawarman

Raja Raja Pajajaran
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan MAULANA YUSUF.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram (Hindu-Buddha), sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam), adalah suatu kerajaan yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10. Kerajaan Mataram terdiri dari dua dinasti, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.


Peta Kerajaan Mataram

Wangsa Syailendra
Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Smaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833).


Wangsa Sanjaya
Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/ Rakryan Jamri/Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/SENA/SANNA, Raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dilengser dari takhta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di kemudian hari Sanjaya yang adalah penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengser Purbasora. Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 - 732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli waris Kalingga Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram pada 732 M[rujukan?]. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga/Kerajaan Mataram (Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini memengaruhi berbagai keputusan politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan Nusantara oleh Majapahit).
Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakryan Panaraban sedangkan penerus Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban/Tamperan adalah saudara seayah lain ibu.
Pemimpin Mataram selanjutnya berturut-turut adalah: Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki anak yaitu Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.

Dara Jingga
Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya Brahman dan Senopati Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Adwaya Brahman dari Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggawarman, menjadi penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.

Dara Petak
Di tahun 1293, Mahesa Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara setelah menjadi Raja Majapahit kedua.

Kerajaan Sunda

Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes) dan sungai Ciserayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:

Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.

menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa saperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, kerajaan Sunda menandatangani perjanjian Sunda-Portugis dimana dalam perjanjian tersebut Portugis dibolehkan membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon yang memisahkan diri dari kerajaan Sunda.
Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan. Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda jatuh ke Sanjaya, yang di tahun itu juga berhasil merebut kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora (yang merebut kekuasaan Galuh dari ayahnya, Bratasenawa/Rahyang Séna). Oleh karena itu, di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Untuk meneruskan kekuasaan ayahnya yang menikah dengan puteri raja Keling (Kalingga), tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan. Di Keling, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, Rarkyan Panangkaran.
Rahyang Tamperan berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759.

Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adikna, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa, mertua raja Erlangga (1019-1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan dari Kesultanan Banten, di tahun 1579 kekuasaannya runtuh.

Raja-raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)



Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang pernah berdiri secara independen di wilayah Kepulauan Nusantara bagian barat dari abad ke-7 (bahkan mungkin sebelumnya) hingga abad ke-12. Setelah didahului serbuan dari Kerajaan Chola dari India Selatan dan Kerajaan Singasari dari Jawa yang melemahkan kekuatan militernya, Sriwijaya menjadi kerajaan taklukan tetangganya, Kerajaan Melayu Jambi dan bertahan hingga berdirinya Kerajaan Majapahit, sebelum akhirnya benar-benar runtuh pada abad ke-14. Pusat pemerintahannya kemungkinan besar di sekitar Palembang, Sumatra, meskipun ada pendapat lain yang menyebutkan Ligor di Semenanjung Malaya sebagai pusatnya.


Peta beberapa kerajaan di Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya pada akhir abad ke-12.

Walaupun pada masa kebesarannya diketahui memiliki pengaruh politik, ekonomi, dan budaya yang besar, meliputi Indonesia bagian barat, Semenanjung Malaya, Siam bagian selatan, dan sebagian Filipina, kerajaan ini sama sekali tidak meninggalkan naskah tulisan atau sastra sama sekali, kecuali beberapa prasasti batu atau keping tembaga serta bahasa Melayu di pesisir-pesisir kepulauan Nusantara yang menjadi akar dari bahasa Indonesia. Keberadaannya malah banyak diketahui dari tulisan-tulisan musafir Tiongkok dan Arab. Namun demikian, banyak ditemukan peninggalan-peninggalan berupa benda-benda keramik dan beberapa bangunan yang dibuat dari batu bata.

Raja-Raja Sriwijaya
Berikut ini adalah nama raja-raja Sriwijaya:
Samarawijaya
Sri Bameswara
Jayabaya
Kertajaya

Catatan-catatan mengenai Sriwijaya
Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:
Berbahasa Sanskerta atau Tamil

Prasasti Ligor di Thailand
Prasasti Kanton di Kanton
Prasasti Siwagraha
Prasasti Nalanda di India
Piagam Leiden di India
Prasasti Tanjor
Piagam Grahi
Prasasti Padang Roco
Prasasti Srilangka

Sumber berita Tiongkok :
Kronik dari Dinasti Tang
Kronik Dinasti Sung
Kronik Dinasti Ming
Kronik Perjalanan I Tsing
Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan

Prasasti berbahasa Melayu Kuna
Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
Prasasti Talang Tuo
Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan
Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
Prasasti Karang Brahi
Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Pekalongan - Jawa Tengah

Pengaruh budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan pulau Kalimantan bagian Barat.
Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.
Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah. Berita bahwa kerajaan Melayu Jambi takluk kepada Majapahit hingga sekarang masih diragukan kebenarannya. Karena setelah kemundurannya wilayah sumatera bagian selatan merupakan daerah tanpa kekuasaan dan pusat bajak laut Selat Malaka.

Kerajaan Tarumanagara

Pelabuhan Kerajaan Tarumanegara
Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Prasasti
1.Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2.Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3.Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4.Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5.Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6.Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7.Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Prasasti Tarumanegara
Salah Satu Prasasti dari kerajaan Tarumanegara, prasasti ini ditemukan di daerah Tugu
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta
Raja-raja Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10.Hariwangsawarman 639-640
11.Nagajayawarman 640-666
12.Linggawarman 666-669

Kerajaan Melayu Jambi

Sejarah
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.
Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670.

Teks Melayu Tertua
Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.
Sebelum bercerita lebih banyak mengenai Aditywarman, ada baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan sejarah leluhur Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.
Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak
Menjelang akhir abad ke-13, Kartanegara mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.
Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Aditywarman. Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara.
Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Aditywarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.
Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.
Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.

Silsilah
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan silsilah raja-raja Minangkabau.

Periode Pemerintahan
Agak rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.

Wilayah Kekuasaan

Wilayah Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.

Struktur Pemerintahan
Di masa Jambi masih menjadi kerajaan merdeka, kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Namun, belum ada kejelasan, apa status pemimpin daerah-daerah di Jambi, selama negeri ini menjadi bagian dari wilayah kerajaan lain.

Kehidupan Sosial Budaya
Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung, mengingat data arkeologis yang sangat minim.

3 komentar:

sundayana mengatakan...

Hati-hati sejarah yang kita ketahui sebenarnya sudah terlalu jauh menyeleweng dari kejadian yang sesungguhnya. Terlalu banyak kepentingan yang bersifat politis (serangan) untuk menjatuhkan negara dan bangsa kita.

Apa yang anda paparkan cukup bagus, sayang terlalu banyak yang salah dan dapat menyesatkan.

Salam Hormat.

Dadan Purnama mengatakan...

Masa ah menyesatkan ????

Unknown mengatakan...

Makasih sob udah share , blog ini sangat membantu sekali .............




bisnistiket.co.id

Template by : x-template.blogspot.com